Oleh Rumadi
KETUA Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU), KH. Said Aqil Siraj menyatakan, gerakan radikalisme di Indonesia sudah sampai pada tingkat "lampu merah" yang membahayakan (27/4/11).Pernyataan tersebut tidak mengada-ada. Gerakan radikalisme, terutama yang dibungkus dengan semangat agama, sekarang memang sudah sampai pada tahap membahayakan, bukan saja mengancam pondasi kebangsaan, tapi juga mengancam kemanusiaan.
Terjadinya serangkaian kekerasan agama terhadap kelompok minoritas, tindakan terorisme yang tak pernah berhenti, tebongkarnya jaringan teroris baru, kelompok pengusung ideologi Negara Islam Indonesia (NII) yang sinyalir terus melakukan rekruitmen anggota dengan melakukan cuci otak, menjadi ancaman serius bagi bangsa ini. Hal ini berarti, harus ada upaya yang sangat serius dari seluruh eksponen bangsa untuk membendung dan menghambat laju radikalisme.
Semua pejabat pemerintah, mulai dari presiden sampai gubernur memberi pernyataan-pernyataan yang menandakan bentuk permusuhan pada gerakan radikal, baik yang terang-terangan maupun gerakan radikal "bawah tanah". Pernyataan pejabat-pejabat Negara menunjukkan adanya perhatian terhadap isu ini. Namun, tampaknya pernyataan-pernyataan yang muncul masih sekedar respon politik dan belum menunjukkan adanya keseriusan untuk membuat langkah-langkah taktis-strategis.
Presiden menyatakan, jangan biarkan radikalisme. Di samping bisa mengancam rasa aman masyarakat, radikalisasi bisa mengancam karakter dan perilaku masyarakat yang sejatinya toleran, mencintai kerukunan dan suka ketentraman (29/5/11).Menkopolhukan, Djoko Suyanto mengatakan, gerakan NII saat ini belum menjadi ancaman serius terhadap Negara Kesatuan Republik Indonesia. Meski demikian, seluruh aparat penegak hukum dan masyarakat harus tetap waspada (27/4/11).
Menteri Pendidikan Nasional, Muhammad Nuh, tak mau kalah. Dia mengatakan, Kemendiknas akan melakukan revitalisasi Pelajaran Agama. Pendidikan Agama tak akan ditekankan pada hafalan semata, tapi juga diterjemahkan dalam perilaku. Menurutnya, pemikiran radikal hanya bisa dilawan dengan pemikiran (28/4/11).
Demikian pula dengan sejumlah perguruan tinggi terkemuka di Pulau Jawa mulai memperketat pengawasan terhadap para mahasiswanya yang disinyalir terlibat dalam gerakan radikal, terutama gerakan NII. Bahkan sejumlah Perguruan Tinggi sudah membuat NII Crisis Center untuk membantu korban "cuci otak" yang dilakukan NII.
Pernyataan-pernyataan tersebut sudah cukup untuk menunjukkan adanya kesadaran bahwa radikalisme (agama) merupakan musuh bersama. Sayangnya, pernyataan-pernyataan seperti ini masih sekedar sebagai pernyataan politik yang hangat pada saat-saat tertentu, dan akan segera hilang jika sudah muncul isu politik yang lain. Kita masih harus menunggu keseriusan dari pemerintah untuk membuktikan "Negara tak boleh kalah dengan radikalisme".
Berawal dari Intoleransi
Ideologi radikal merupakan perkembangan lebih lanjut dari pikiran dan sikap intoleran. Intoleransi merupakan bahan baku yang bisa berkembang menjadi gerakan radikal yang menghalalkan kekerasan, mengganti ideologi Negara, hingga terorisme. Karena itu, membunuh ideologi radikal tidak mungkin dilakukan kalau tidak dimulai dengan mempermasalahkan intoleransi.
Dari sinilah kita perlu mewaspadai sikap-sikap intoleransi yang semakin tumbuh dalam masyarakat. Dari laporan Tahunan yang dikeluarkan the WAHID Institute sejak tahun 2008, 2009 dan 2010 menunjukkan bahwa sikap dan tindakan intoleransi antar kelompok dalam masyarakat menunjukkan grafik yang terus naik. Peristiwa kekerasan berbasis agama juga terus menunjukkan peningkatan. Bahkan, pikiran-pikiran intoleran juga semakin menelusup ke dalam relung kehidupan berbangsa, bukan hanya di kalangan masyarakat, tapi juga birokrasi dan lembaga pendidikan.
Sayangnya, warningdalam laporan kehidupan kegamaan yang dirilis setiap tahun tersebut dianggap angin lalu. Bahkan, laporan-laporan yang dikeluarkan sejumlah organisasi civil societydilihat sekedar untuk mencari-cari kekurangan pemerintah. Karena itu, pemerintah biasanya tidak terlalu menghiraukan laporan-laporan seperti itu.
Demikian juga dengan survey intoleransi yang dirilis Lembaga Kajian Islam dan Perdamaian (LaKIP) yang menunjukkan tumbuh dan berkembangnya pikiran dan sikap intoleran. Dalam survey yang dilakukan Oktober 2010-Januari 2011, dengan sample 1.000 an siswa SMP (kelas III) dan SMU se-Jabodetabek serta guru Pendidikan Agama Islam (PAI) se-Jabodetabek diperoleh hasil yang sungguh mencengangkan. Mereka, guru (62,7%) dan siswa (40,7%), menolak berdirinya tempat ibadah agama non-Islam di lingkungan mereka.
Mereka juga, guru (57,1%) dan siswa (36,9%) menolak bertoleransi dalam perayaan keagamaan di lingkungan mereka. Bahkan seandainya ada perayaan keagamaan non-Islam di sekolah yang mestinya tidak perlu dipermasalahkan dalam Negara Pancasila, namun guru (47,5 %) dan siswa (39 %) menolaknya. Hal yang menarik lagi, baik siswa maupun guru, hampir seperlimanya merasa Pancasila dan UUD 1945 tidak relevan lagi diterapkan sebagai landasan hidup dan bernegara Indonesia. Mereka, baik guru maupun siswa, juga cenderung menyetujui tindak kekerasan berbasis agama, yang jika dihitung dari respons "sangat setuju" dan "cukup setuju" mencapai masing-masing 41,8% dan 63,8%.
Angka-angka tersebut tidak bisa dianggap enteng. Meski sebagian kalangan ada yang meragukan kebenaran hasilnya dan sebagian yang lain ada yang mempermasalahkan metodologinya, namun survey ini tetap bisa dijadikan sebagai warning yang mengharuskan kita semua waspada. Kita semua cukup bisa merasakan semakin menguatkan intoleransi tersebut. Karena itu, kita perlu memasang alarmsupaya pikiran dan sikap intoleran tidak semakin berkembang.
Melihat kenyataan tersebut, memang tidak ada obat mujarab untuk menghentikan radikalisme. Namun saya melihat, lembaga pendidikan seharusnya mempunyai peran yang besar. Dalam kaitan inilah ada beberapa hal penting yang layak mendapat perhatian bersama. Pertama, dunia pendidikan dalam berbagai tingkatan sudah saatnya memberi kewaspadaan tinggi terhadap berkembangnya ideologi intoleran dan radikal. Harus diakui, selama ini lembaga pendidikan tidak cukup sensitif dengan isu-isu seperti ini, bahkan di beberapa tempat tidak sedikit tenaga pendidik yang justru menjadi sponsor ideologi radikal. Dengan demikian, sudah saatnya dilakukan penataan cara pandang tenaga-tenaga pendidik agar mereka bisa menjadi bagian dari upaya deradikalisasi, bukan justru berperan sebaliknya.
Kedua,sudah saatnya pendidikan keagamaan di sekolah (dan juga Perguruan Tinggi) harus selalu dikaitkan dengan persoalan kebangsaan. Hal ini penting dilakukan agar pendidikan agama tidak justru dijadikan sebagai ladang penanaman intoleransi dan radikalisme. Hal ini hanya bisa dilakukan jika guru-guru agama mempunyai wawasan kebangsaan yang baik, terutama terkait dengan empat pilar bangsa: Pancasila, UUD 1945, NKRI dan bhineka tunggal ika.
Ketiga,sudah saatnya dipikirkan kembali agar Pancasila menjadi bahan pelajaran di sekolah. Tanpa harus terjebak pada model indoktrinasi Pancasila sebagaimana pernah dilakukan pemerintah orde baru, perlu dipikirkan upaya-upaya kreatif untuk menanamkan kembali Pancasila sebagai ideologi berbangsa. Harus diakui, setelah sebelas tahun reformasi ini, sebagai bangsa kita nyaris kehilangan pegangan. Pancasila yang menjadi fondasi kebangsaan juga nyaris dilupakan. Bila hal ini dibiarkan, bukan tidak mungkin bangsa Indonesia akan kehilangan sendi-sendi kebangsaanya. Apa yang terjadi sekarang ini dengan menguatnya intoleransi, radikalisme dan terorisme merupakan indikator ke arah sana.
Jika langkah-langkah tersebut maka kita akan bisa menghambat laju perkembangan radikalisme. []
Peneliti Senior the WAHID Institute, Dosen UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Dimuat Suara Pembaruan, Senin 9 Mei 201
Sumber : http://www.wahidinstitute.org